Apabila sang buana bercerita tentang misteri tali yang dipintal dari serat-serat rindu untuk mengikat cinta di antara jiwa dan zat yang memiliknya

.


... lalu berkatalah sang buana, bahwasanya rindu itu laksana serat-serat (fibres) yang dipintal menjadi tali. Maka tali itulah yang digunakan bagi mengikat cinta di antara jiwa-jiwa yang terkesan olehnya.

Tiada ada diantara mereka, kata sang buana lagi, akan boleh melihat kepalsuan lagi selagi tali rindu itu masih membelit jiwa-jiwa yang sedang enak bercinta.

Di belakang Restoran Din Koner, Jasin.

... dan kata sang buana lagi, yang terasnya setumpat bimasakti, mengikat cinta dengan tali yang fana tiada ada sama dengan talli yang fana-billah. Sesungguhnya tali yang fana-billah itu tiadalah fana tetapi fanalah ia mengikut erti dunia kita sahaja. Sesungguhnya tali dari serat-serat rindu itu kekallah ia selagi ia menjadi pengikat jiwa milik domain sang buana dan zat yang memiliknya (domain ini tiada latitud dan longitud).


... dan fana itu tetap fana, selagi kita melihatnya dengan mata yang fana. Sedangkan mata hati melihatnya sebagai satu kerinduan yang membuatkan jiwa-jiwa itu sanggup mengumpil paku sang buana, walau sekuat mana pun ianya terpaku, agar tercabut. Agar jiwa itu lepas bebas... sebebas-bebasnya, laksana burung merpati yang terbang ke langit tinggi (bukan tinggi dari segi altitud) mencari pasangan sejoli...



Dan tali rindu itu aku lihat ada di puncak menara Masjid Tua itu.

Talinya mengikat bumi dan langit, memasaknya agar setiap jiwa yang bergetar akibat tasbih di dalam masjid itu boleh mengecap nikmat cinta yang mengalir turun lalu masuk ke dalam dada.

Kalau tak percaya, lawatilah dan lihatlah dengan mata fana anda sendiri.

Aku ternyata kagum.

Lihatlah bagaimana serat-serat itu muncul menjadi ada daripada tiada.

Lihatlah bagaimana serat-serat itu dipintal menjadi tali rindu oleh para pentasbih itu.

Lihatlah.... (voice echoing & fading away)







.