Ikon berenda merah dan bintang-bintang milik Bimasakti

.


Ikon berenda merah itu turun dari langit ke tujuh. Berputar seperti bilah-bilah kipas, kalau tak pun, seperti bunga-bunga Angsana yang turun sambil memangkas angin-angin panas lewat Julai ini. Ikon berenda merah itu berputar amat ligat, terlalu ligat hingga Yoda sendiri kebingungan untuk menggunakan kuasa jedi-nya bagi menangkap bilah-bilah renda. Meskipun ligat, ia turun dari satu langit ke satu langit dengan perlahan sebenarnya. Seperti bunga Angsana itu.


Ikon berenda merah itu turun betul-betul di atas serobong kaca-laut biru gunung Merapi yang berbolos dan berasap sengak belerang dan asam. Gelembung-gelembung nusa memijar dari lahar menggelegak merah delima, meletup dan terpercik ke tebing berbatu kuartz tajam.


Mujur, Ikon berenda merah itu sempat menyisih ke sisi, lalu jatuh di atas debu duli panas. Angin panas lewat Julai ini menerbangkan debu-debu duli ke atas, memagari luncuran panah-panah dari Arjuna yang bertengkreng atas mentari lusuh.



Seekor kuda Semberani berlari dari kaki pelangi, tiba-tiba berhenti, mendengus melihat ikon berenda merah itu. Lalu ia tunduk, memungut ikon itu dengan gigi suasa merah. Kini, ikon berenda merah itu dibawa berlari ke tengah-tengah padang rumput yang hijau. Dan di padang itu ada sungai perak, dengan emas urai menjadi pasir-pasirnya.



Ikon berenda merah yang turun dari langit ke tujuh itu terbuai-buai dek angin panas lewat Julai. Tapi, kini ia berdebu dan kotor. Meski pun ada sungai, airnya tidak sesuai untuk membasuh kotoran itu.


Semenjak itu, ikon berenda merah itu tidak putus-putus memohon agar ada kaki hujan menjejaki padang itu. Sehingga cerita ini ditulis, doa si ikon berenda merah itu belum bersahut. Tinggallah ianya tetap berdebu dan kotor.


Di dada langit malam, setiap malam, bintang-bintang milik Bimasakti bersusun-susun membentuk lambang-lambang rindu dan cinta. Malam ini juga.






.